Sistem Kesehatan Indonesia

looking health as a part of a system..

Wednesday, December 1, 2010

Ramah Tamah dari Ruang Praktek


“Nomor antrian sudah mencapai puluhan. Namun dokter, diruang praktek yang dituju tidak kunjung datang. Pasien yang datang berobat, hanya bisa menahan sakit dan mengumpulkan kesabaran demi mendapatkan pengobatan yang tepat. Bukan hitungan menit mereka menunggu, melainkan jam. Hingga akhirnya, dokter tiba dan panggilan pun dimulai..”

Deskripsi di atas merupakan gambaran nyata, dari pengamatan maupun pengalaman dari berobat ke dokter. Bukan hal yang mudah menunggu dalam waktu yang lama terlebih ditemani dengan rasa sakit. Selama menunggu, pasien biasanya merancang cerita dan keluhan yang nanti akan diceritakan ke dokter. Namun tak jarang, semua rencana itu harus mereka telan kembali ketika akhirnya mereka berhadapan dengan dokter yang tidak komunikatif, tidak memberikan kesempatan mereka untuk menyampaikan keluhannya.

Komunikasi merupakan hal yang penting. Bahkan, 80% diagnosis dapat tegak melalui proses anamnesis yang merupakan dari komuniksasi itu sendiri.Membangun komunikasi yang efektif merupakan hal yang mutlak harus dilakukan oleh seorang dokter. Membangun komunikasi yang efektif dapat dari beberapa hal.

Pertama dapat dengan menunjukkan kredibilitas dan daya tarik komunikator. Memunculkan daya tarik dapat dengan berpakaian rapi, memasang mimik wajah yang bersahabat, dan menyunggingkan senyum. Kedua, dokter juga harus memiliki kemampuan untuk membangkitkan tanggapan dari pasien sehingga pasien lebih terbuka dan dapat menceritakan keluhannya. Mengajukan pertanyaan terbuka, tidak menghakimi, dan memberikan jeda, agar pasien dapat memberikan jawabannya. Pertanyaan yang tertutup dan tanpa jeda dapat memberikan kesan menginterogasi dan membuat pasien tidak nyaman. Ketiga, adalah adanya kemampuan pasien untuk menerima dan memahami pesan. Hal ini tentunya juga harus dipahami oleh dokter, dalam menyampaikan penjelasan hendaknya melihat latar belakang social dan pendidikan pasien dan berhati-hati dalam pemilihan kata-kata. Dengan begitu, semua pesan dapat tersampaikan dengan baik.

Tidak sedikit pasien pulang dengan kecewa hanya lantaran hal-hal sepele seperti dokternya tidak ramah, dokternya sibuk menulis resep, dokternya diam saja. Padahal, pasien juga manusia. Tujuan mereka datang ke dokter selain untuk mengobati penyakitnya adalah sekadar menyampaikan keluhan yang dirasakan. Hendaknya dokter yang baik dapat menjadi pendengar yang baik, memperlakukan pasien dengan hormat dan menunjukkan empati. Dokter yang baik dapat memberikan pengobatan yang tepat dan ramah tamah dari ruang praktek



Monday, November 29, 2010

Let's work together in a line!

Erupsi Merapi yang besar dan berkepanjangan, mengharuskan sejumlah besar masyarakat harus mengungsi. Mereka yang dalam zona bahaya dan tidak sempat mengungsi, banyak yang menjadi korban. Hal ini tentu saja mengundang banyak simpati, baik dari warga sekitar maupun dari masyarakat Indonesia secara luas. Media yang tak henti-henti memberitakan, menambah antusias warga untuk dapat berpartisipasi. LSM-LSM tak tinggal diam, dengan motif dan tujuan masing-masing, mereka berlomba memberikan bantuan. Tujuannya semua baik adalah untuk meringankan penderitaan korban. Namun, menjadi tidak baik, ketika semua komponen tidak terkoordinir dengan baik, melainkan berjalan sendiri. Ketimpangan-ketimpangan pun tak dapat dihindarkan. Keberlimpahan bantuan di satu wilayah, namun defisit di wilayah lain.


Koordinasi LSM adalah penting dilakukan oleh pemerintah. Pendataan LSM-LSM yang ada, khusunya dalam penanggulangan masalah kesehatan di lingkup bencana hendaknya menjadi tanggung jawab Dinas Kesehatan setempat pada masa pra bencana mengingat betapa besar peran LSM dalam kasus bencana seperti ini. Pendataan tentang lingkup gerak LSM dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan juga penting. Saat Dinkes menjadi koordinator, maka semua LSM bergerak atas instruksi Dinkes. Pembuatan posko, pengiriman relawan, dan kegiatan yang dilakukan harus sepengetahuan Dinkes. Tidak perlu lagi ada penumpukan posko LSM pada daerah-daerah yang ramai pemberitaan, dan sepi didaerah yang tidak terjangkau media.
 

Evaluasi juga penting untuk kegiatan yang sudah dilakukan juga penting. Selama ini, sudah ada evaluasi tetapi hanya untuk lembaga-lembaga yang menjadi milik pemerintah. Evaluasi mandiri juga dilakukan oleh LSM-LSM yang ada secara mandiri. Semua berjalan sendiri-sendiri, namun tidak saling berhubungan. Tidak ada koordinasi. Idealnya minimal seminggu sekali, pemerintah dan penanggung jawab LSM duduk dalam satu meja untuk melaporkan progres kerja, evaluasi, dan perencenaan seminggu ke depan. Sumber daya untuk mengatasi bencana sangat berlimpah, budaya gotong royong masyarakat Indonesia, mendorong bantuan untuk mengalir deras selama masa bencana maupun pasca bencana. Namun, ketika semua itu tidak dikoordinasikan, maka hasil yang didapat pun tidak maksimal.



Wednesday, November 24, 2010

Medical Tourism a Travel to Find Cure

 



 Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia Fachmi Idris memperkirakan masyarakat IndonesiaIndonesia dalam satu tahun sekitar 20 T per tahun. Mengapa hal ini bisa terjadi?? yang berobat ke luar negeri menghabiskan dana yang sama banyaknya dengan anggaran kesehatan


Kurang lebih alasannya adalah pasien merasa berobat ke luar negeri lebih baik pelayanannya, peralatannya lebih canggih, obat-obatannya lebih ampuh, dan dokternya bekerja lebih profesional. Pasien bisa puas bertanya . Ada kepastian mengenai penyakit yang diderita, dan tahu apa tindakan selanjutnya, sehingga pasien atau keluarga pasien merasa puas walaupun mengeluarkan uang lebih besar di luar negeri.


Selain ramai-ramai menggembar-gemborkan budaya cinta dalam negeri termasuk produk pelayanan kesehatan. Tidak ada salahnya apabila kita melihat kualitas produk itu sendiri, apakah sudah layak dicintai?? Kalau dalam bidang kesehatan apakah sudah sesuai dengan standar operasional dan standar pelayanan kesehatan?


Kalau melihat alasan di atas, mayoritas berkaitan erat dengan kualitas pelayan yang diberikan oleh dokter. Untuk standar pelayanan kesehatan yang diberikan dokter sebenarnya sudah tercantum dalam UU praktek Kedokteran no 29/2004. Kewajiban dokterlah memberi informasi yang jelas tentang kepastian penyakit pasien dan menjelaskan pilihan-pilihan yang tindakan yang dapat diambil dan apabila dokter tidak sanggup menangani dapat merujuk ke dokter yang memiliki kompetensi.


 Kalau masalah obat, sebenarnya tidak ada banyak perbedaan antara dokter asing dan dokter dalam negeri. Dokter dalam negeri, justru cenderung lebih mengenal karakteristik pasien karena berdomisili di lokasi. Namun kepercayaan berpengaruh besar terhadap tingkat kesembuhan pasien itu sendiri. Kepercayaan ini, dapat dibangun atas komunikasi yang baik antara dokter dan pasien dan ini yang masih lemah pada dokter-dokter di Indonesia. Karena budaya, yang menganggap pasien hanya objek yang mengharapkan obat untuk sembuh tanpa berusaha membangun hubungan yang baik dengan mereka, akhirnya membuat pasien merasa tidak terfasilitasi untuk menyampaikan keluhannya dan timbul ketidak percayaan.


Karena sistem pembayaran dokter di Indonesia yang masih bergantung pada fee for service ataupun out of pocket, akhirnya banyak dokter yang menjadikan pasien sebagai objek untuk mendapatkan keuntungan. Memberikan pengobatan ataupun prosedur medis, yang sebernya tidak dibutukhkan oleh pasien. Untuk kasus yang satu ini, juga sebernya sudah berusaha ditekan dengan adanya program DRG di rumah sakit dan program Jaminan Kesehatan Semesta, dimana apabila program ini berjalan lancer, maka tidak ada lagi pembayaran dokter melalui out of pocket.


Pembenahan standar pelayanan dokter dan rumah sakit adalah hal yang mutlak harus dilakukan untuk menekan angka pasien yang berobat ke luar negeri. Berobat di negeri sendiri, tanpa harus menguras kantong dalam tentunya adalah impian bagi masyarakat Indonesia dan impian itu dapat tercapai dengan pemberian pelayanan yang baik oleh dokter dan rumah sakit sesuai dengan acuan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah



Monday, November 22, 2010

RELAWAN = Rela Berkorban, Kawan!

Bencana Merapi mengundang banyak simpati. Pemerintah, masyarakat awam, mahasiswa-mahasiswi tak mau ketinggalan untuk berbagi hati. Bantuan mengalir deras untuk pengungsi.Tak sedikit yang menjadi relawan dan terjun ke lokasi. Namun apakah semua tepat fungsi dan posisi? Itu masalah lain lagi.Menjadi relawan kelihatannya mudah, tapi yang ideal tentu saja persoalan lain. Ada beberapa yang hendaknya dimiliki oleh para relawan.

Volunter artinya siap mengambil alih pekerjaan apa saja secara spontan. Apa saja, tanpa terhalang oleh arogansi profesi, tetapi tetap sesuai kompetensi. Misalnya saja ,rela ditempatkan di posko mana saja, yang membutuhkan dan bersedia menjadi pengurus logistic, padahal profesinya adalah seorang dokter yang notabene berurusan dengan pelayanan kesehatan. Bersikap mandiri dan tidak manja adalah mutlak harus ada. Jangan meminta apapun kepada tuan rumah kecuali pekerjaan. Kalimat sederhana yang memiliki arti mendalam. Tidak memperberat derita korban tapi sebisa mungkin memperingannya. Tidur, makan, dan pemenuhan kebutuhan dasar hendaknya diusahakan sendiri.


Relawan juga hendaknya membebaskan motivasi. Bebas dari kepentingan politik, bebas dari keinginan untuk mencari keuntungan, bebas dari kepentingan individu dan kelompok. Karena korban bencana bukan objek untuk promosi dan pengungsian juga bukan ladang spanduk. Moralitas dan kemanusian hendaknya menjadi motivasi utama.



Memberikan bantuan yang layak dan tepat guna. Pengungsian bukan pembuangan. Baju bekas, hendaknya disortir. Memberikan baju yang benar-benar layak pakai. Begitu juga dengan obat-obatan dan logistik. Memeriksa tanggal kadaluarsanya, sebelum disalurkan kepada para korban. Alokasi bantuan disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan. Agar ketika bantuan itu datang ke lokasi benar-benar dapat dimanfaatkan bukannya menumpuk dan membuat masalah lain untuk memusnahkannya.


Menjadi relawan adalah mulia maka hendaknya kita memuliakan profesi relawan ini, dengan menempatkan setiap motivasi,pekerjaan,dan tujuan dengan selayaknya seorang Relawan. A humanitarian action must be conducted with humanity, neutrality, impartiality, and independent action (Watatmo,2010)


Sumber :

Kuliah Rapid Response Tema oleh dr. Hendro Watatm








Thursday, November 18, 2010

Stigma, Gangguan Jiwa, dan Gila

Seorang wanita paruh baya datang dengan tergesa-gesa ke sebuah Puskesmas X, didampingi oleh seorang wanita yang lebih muda. Pada kepala wanita itu, tampak luka perban lusuh yang tertutup rambut yang awut-awutan. Pakaiannya pun kucel, kotor, dan sedikit aneh. Dari penjelasan pengantar, ternyata wanita itu, berniat membuka perban dan jahitan di kepalanya. Perawat yang bertugas pun menyiapkan alat-alat. Selama menunggu peralatan siap, anamnesis dilakukan, dan wanita itu pun tidak merespon pertanyaan yang diajukan. Tidak nyambung. Jawaban-jawabannya hanya berupa kalimat gumaman panjang, tidak jelas, dan sulit ditangkap artinya. Saat dokter senior datang, didapatkan informasi bahwa ternyata wanita ini menderita gangguan jiwa. Luka di kepalanya, adalah luka bacok yang didapatnya dari saudara laki-lakinya yang tinggal serumah, ketika wanita itu mengamuk. Wanita pengantar tadi hanyalah tetangga yang berbelas kasihan. Tak lama kemudian, peralatan siap. Jahitan di kepalanya dilepas, perban diganti. Wanita itu pun pulang dengan membawa selembar resep yang hanya bertuliskan “obat penghilang rasa nyeri (analgesic)” untuk bekas jahitannya.

Cerita ini adalah kutipan pengalaman saya ketika berkesempatan berjaga disebuah puskesmas dan bertemu dengan seseorang dengan Gangguan Mental. Pertanyaan yang waktu itu muncul di kepala saya adalah “Mengapa seolah tidak ada yang bisa lakukan Puskesmas terhadap Gangguan Mental yang diderita pasien?”. Kalau Puskesmas saja,sebagai garda terdepan, Unit pelaksana teknis paling perifer dan dekat denga masyarakat sudah mampu mengenali tapi tidak mampu melakukan intervensi untuk mengurangi gangguan pasien

Di Indonesia, terbatasnya tenaga kesehatan di Mental Health Provider menjadi kendala utama. Hal ini sangat kontras dengan kondisi Kesehatan Mental Masyarakat Indonesia yang bisa dibilang ‘buruk’. Bayangkan saja Indonesia menduduki rangking 112 dari 120 negara.Belum lagi, stigma masyarakat yang selalu mengidentikkan gangguan mental dengan GILA, membuat mereka enggan untuk mengutarakan keluhan yang berkaitan dengan mental. Padahal gangguan mental minor dapat berupa gangguan cemas, depresi, atau berupa keluhan fisik.

WHO, sebenarnya sudah mengeluarkan rekomendasi untuk negara dengan sumber daya Mental Health Provider yang rendah, yaitu dengan mengintergrasikan pelayanan kesehatan mental pada pelayanan kesehatan umum di pelayanan kesehatan primer yang sudah tersedia bahkan didaerah paling terpencil sekalipun. Artinya diintegrasikan di setiap Puskesmas yang ada. Idealnya rekomendasi ini diwujudkan dengan memberikan pelatihan kepada dokter dan tenaga kesehatan yang ada di puskesmas. Agar berkelanjutan hendaknya ada pengawasan dan follow up dari Mental Health Provider yang ada (psikolog,psikiater,mental hospital). Pengawasan ini juga bertujuan agar apabila ada kasus-kasus gangguan mental yang berat dapat langsung diarahkan dan dirujuk. Koordinasi juga harus dilakukan dengan baik oleh Dinas Kesehatan agar penyediaan obat yang berkaitan dengan kesehatan mental dapat berjalan.

Apabila rekomendasi WHO ini dapat diadaptasi dengan baik, dokter di Puskesmas akan lebih jeli dalam melakukan deteksi awal, memberikan treatment, dan konseling terhadap pasien dengan gangguan mental yang ringan. Stigma masyarakat pun bisa diatasi karena pasien tidak perlu datang ke Dokter Jiwa yang membuat mereka dicap “ORANG GILA”. Pelayanan kesehatan di Puskesmas pun menjadi lebih menyeluruh,FISIK dan MENTAL..

Monday, November 15, 2010

We licensed to CURE (not to KILL)

Dokter adalah tangan Tuhan. Begitu salah satu ungkapan yang pernah saya dengar. Melalui dokter seseorang yang sakit dapat menjadi sembuh atau bahkan menjadi mati. Faktanya adalah dokter juga seorang manusia yang penuh dengan keterbatasan. Saat dokter berbenturan dengan keterbatasan inilah lahir apa yang disebut malpraktek. Ketidakpuasan pasien terhadap hasil pengobatan maupun hasil pelayanan akhirnya dapat menimbulkan sengketa medis.

Lalu muncul pertanyaan apakah dokter dapat dipidanakan? Dahulu, tenaga-tenaga kesehatan terlihat kebal hukum. Namun, seiring dengan lahirnya UU praktek kedokteran No 29 tahun 2004, dokter dan tenaga kesehatan dapat dipidanakan.


Tuntutan pidana makin sering digunakan sebagai salah satu cara dalam gugatan kasus malpraktek. .Namun kenyataannya tidak mudah untuk memidanakan dokter. Membuktikan adanya kesengajaan dalam praktek kesehatan bukanlah hal mudah. Mengingat betapa panjang jalan yang harus ditempuh untuk memperoleh predikat ‘dokter’, saya rasa tidak ada seorang dokter pun yang dengan sengaja melukai, membunuh, ataupun membuat pasien sengsara dengan kesengajaan. Selain itu dalam praktek kesehatan tidak memiliki standar point yang kaku tapi sangat terpengaruh oleh faktor dari tiap individu. Pelayanan yang sama untuk kasus yang sama dapat menghasilkan hasil yang jauh berbeda.Contohnya saja Sindroma Steven Johson sindrom karena reaksi anafilaktik (alergi sistemik) yang sangat sulit diprediksi kejadiannya. Namun, sekali lagi banyak pertimbangan yang harus dipikirkan. Apabila kelalaian tersebut dinilai berat, atau berupa ketidak hati-hatian yang berakibat fatal,pembiaran yang mengakibatkan luka berat, kecacatan sampai kematian, maka dapat dipidanakan.


Tuntutan pidana hendaknya menjadi pilihan terakhir. Pada tahun 2009, dikeluarkan UU no 36, dimana pada pasal 29 disebutkan bahwa apabila tenaga kesehatan melakukan kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui MEDIASI. RESTORASI JUSTICE juga menjadi solusi lain yang ditawarkan. Pada Restorasi Justice dilakukan dengan pemberian ganti rugi kepada pasien atau korban. Metode ini sudah banyak digunakan sebagai bentuk pemidanaan. Sehingga dokter yang bersangkutan tidak harus menjalani proses peradilan pidana yang dapat berdampak bagi karirnya. Jangan sampai, karena aturan hukum yang sangat ketat, lulusan-lulusan dokter takut untuk berpraktek dan memilih beralih ke profesi lain sehingga akan memperbesar defisit tenaga kesehatan di Indonesia. Namun juga jangan sampai dokter-dokter yang sudah melakukan praktek kesehatan ini, dibiarkan tanpa control dan tanpa perlindungan terhadap pasien.













Saturday, November 13, 2010

Memasyarakatkan Jaminan Kesehatan..

Siang itu, saya dan teman-teman menuju ke sebuah restoran untuk menerima penjelasan tentang asuransi yang diikuti oleh orang tua kami. Ya, orang kami bekerja di sebuah perusahaan swasta. Rupanya perusahaan tempat orang tua kami, mengikat kontrak dengan perusahaan asuransi baru. Tidak ada bayangan sama sekali tentang penjelasan apa yang kami dapatkan. Setelah menikmati sajian yang disuguhkan. Penjelasan pun dimulai. Penjelasan tentang sistem asuransi berjenjang yang paling saya ingat. Memanfaatkan dokter dan klinik keluarga yang telah ditunjuk pada langkah awal, apabila diperlukan dengan surat rujukan, baru kami dapat mengakses dokter spesialis yang diperlukan. Dokter-dokter keluarga yang disiapkan pun tersebar di berbagai wilayah.Namun, ada beberapa dokter spesialis khusus yang dapat kami tuju. Setaun kemudian, baru saya mendapatkan materi tentang jaminan kesehatan itu sendiri.

Seperti kita ketahui, bahwa coverage Jaminan Kesehatan saat ini hanya berkisar 60%, yang 80% nya adalah masyarakat miskin dan sangat miskin. Masyarakat awam dengan tingkat pendidikan yang tidak tinggi. Memahami tentang sistem Jaminan Kesehatan tidaklah mudah. Pertama kali terpapar tentang adanya sistem ini rasanya begitu asing. Bayangkan saja, apabila yang mahasiswa saja masih sulit memahami bagaimana dengan masyarakat awam.

Sistem Kesehatan Berjenjang, yang memanfaatkan dokter keluarga atau dokter umum sebagai Gatekeeper akhirnya tidak berjalan dengan maksimal. Pemberian pengetahuan kepada masyarakat sebagai sasaran utama sangat minim . Mereka tidak tahu, kapan seharusnya mereka datang ke dokter di Puskesmas dan kapan mereka datang ke dokter di Rumah Sakit. Rumah sakit besar akhirnya masih banyak berkutat dengan penyakit-penyakit yang seharusnya menjadi tanggung jawab dari Puskesmas. Rumah sakit penuh sesak, sementara banyak Puskesmas di daerah yang sepi pasien. Selain itu, sosialisasi tentang Puskesmas dan dokter keluarga yang ditunjuk juga harus dilakukan agar masyarakat mengetahui dokter atau puskesmas mana yang dapat mereka tuju, tidak sekadar rumah sakit besar- besar saja.



Masyarakat pun akhirnya tidak mendapat pelayanan kesehatan yang maksimal. Karena tidak banyak mengetahui tentang lokasi pelayanan kesehatan yang ada,biasanya mereka langsung datang ke Rumah Sakit besar, yang mereka tahu. Contohnya kasus saja,Bude, perempuan setengah baya yang bekerja di kos-kosan tempat saya tinggal bercerita bahwa beliau baru saja pulang dari Rumah Sakit Umum Pendidikan terbesar di kota tempat saya tinggal, setelah dari pagi mengantri dan baru selesai tengah hari untuk memeriksakan diri karena menderita common cold selama 3 hari. Sesuatu yang sebenernya tidak perlu terjadi.

Andai saja, ada pemberian informasi kepada masyarakat lebih maksimal. Penjelasan dengan bahasa yang lebih mudah diterima dan dipahami masyarakat tentunya. Tentunya fungsi dokter maupun Puskesmas dapat lebih maksimal. Jangan sampai ketidaktahuan dan ketidakpahaman masyarakat akan bagaimana Sistem Jaminan Kesehatan ini berjalan, akhirnya dapat menganggu pemenuhan hak mereka, disamping perwujudan dari sistem yang akan terganggu keberlangsungannya.